PERAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS (GIS) SEBAGAI TEKNOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN PADA PENYULUHAN KEBAKARAN HUTAN
Pendahuluan
Hutan
merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai arti penting bagi
kelangsungan pembangunan nasional, hal ini disebabkan karena hutan merupakan
salah satu aset strategis bangsa. Selain itu, hutan juga memegang fungsi
penting yaitu ekologi. Fungsi hidro-orologi, pengatur iklim dan sebagai sumber
keanekaragaman hayati. Namun banyak hal yang lepas dari pengawasan kita seperti kebakaran
hutan.
Kepedulian bangsa Indonesia terhadap berbagai masalah
hutan dan kehutanan semakin meningkat, karena kepedulian ini perlu untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas dan menjamin keberadaan hutan. Peran
penyuluhan tentunya terlibat dalam melindungi hutan. Penyuluh harus mampu
memberikan saran-saran yang dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat
sekalian mengubah cara tatatanam pertanian, yang mana setahu kita, marak sekali
pembukaan lahan dengan menggunakan teknologi sederhana yaitu dengan cara
membakar. Peran penyuluhan disini teramat penting. Atas kepedulian tersebut
seharusnya penyuluh memiliki peta penyebaran kebakaran yang terkini, agar
nantinya penyuluh dapat bekerja tepat sasaran. Dan penyuluh dapat langsung
berinteraksi kepada mayarakat petani tersebut agar dapat mengurangi penggunaan
api dalam pembukaan lahan. Selain itu mendapatkan
strategi penanggulangan kebakaran hutan yang bersifat berkelanjutan.
Agar mendapatkan tujuan tersebut metode
GIS (Geographic Information System) yang dapat melakukan visualisasi
secara efektif mengenai kondisi geografis yang akurat, kejadian bencana
kebakaran, ataupun perkiraan ancaman kebakaran yang akan terjadi. Informasi
spasial tersebut akan sangat membantu penyuluh di dalam melakukan
penyuluhan.
Kebakaran dan dampaknya
Memadamkan api
dari kebakaran hutan bukan perkara mudah seperti membalik tangan saja, melaikan
perkara yang susah untuk ditangani. Menurut Forest Fire
Prevention and Control Project (2001), masalah
kebakaran hutan telah terjadi sejak tahun 1970, dengan siklus terjadi selama
3-5 tahun yaitu tahun 1982, 1987,1991,1994, dan 1997. Kebakaran hutan sudah
biasa akibat dari pembukaan lahan untuk pertanian.
Gambar 1.
Kebakaran hutan pinus
Dibawah ini dapat dilihat data kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 yang
terjadi di Provinsi Sumatera dan Kalimantan.
Kerusakan
yang diakibatkan kebakaran termasuk yang paling besar dan kejadiannya dapat
berlangsung dalam waktu yang singkat dengan kerusakan yang besar, seperti polusi
udara (kabut asap), kondisi tanah yang rusak, keanekaragaman hayati menurun, menurunnya
jumlah binatang buruan dan tanaman obat yang dikomsumsi sehari hari oleh
masyarakat, menambah angka laju deforestasi hutan.
Menurut Forest Fire
Prevention and Control Project (2001), setiap tahun, kebakaran yang tidak terkendali menyebabkan
berbagai dampak negatif, antara lain, kerusakan hutan, Kebakaran semak belukar
yang menghambat pertumbuhan hutan kembali, kerusakan perkebunan baik milik
perusahaan maupun petani (misalnya kebun kelapa sawit, kebun karet, Hutan Tanaman Industri, dsb), gangguan kesehatan dan
transportasi yang diakibatkan oleh asap dan kabut, pandangan kurang baik
terhadap Indonesia di luar negeri, terutama di negara tetangga. Dalam tahun-tahun dengan curah hujan rata-rata, skala dari
kerusakan tersebut terbatas. Tetapi ketika terjadi
musim kemarau yang panjang, setiap 3 sampai 5 tahun, kerusakan hutan dan lahan
di Indonesia dapat mencapai beberapa juta
hektar dengan kerugian mencapai jutaan dolar. Di Sumatera Selatan sendiri pada tahun 1997 diperkirakan sekitar satu juta
hektar lahan terbakar.
Tabel 2. Dampak
positif dan negatif kebakaran
Dampak positif kebakaran
|
Dampak negatif kebakaran
|
1.
Kesuburan
tanah (dalam jangka pendek)
2.
Mengurangi
biaya penyiapan lahan
3.
Memudahkan
penyiapan lahan
4.
Sifat-sifat
kimia tanah tanah (pH 4)
|
1.
Hutan
gundul
2.
Sifat
sebagai “penanngkap air”
3.
Banjir
4.
Tanah
longsor
5.
Kerusakan
lahan (jangka panjang)
6.
Kimia
(pH)/Biologi
7.
Kesehatan
8.
Transportasi
9.
Mengganggu
hubungan Internasional
10. Menurunkan kesejahteraan masyarakat
11. Biodiversitas (plasma nuthfa)
Berdampak pada
semua terutama masyarakat setempat
|
Sumber: Forest
Fire Prevention and Control Project (2001)
Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan
dan lahan diantaranya :
a. Dampak Terhadap Bio-fisik
Dampak
buruk dari kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar
dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai dengan
hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan
hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah
(sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya vegetasi
tersebut. Selain itu, kebakaran dapat melemahkan daya tahan tegakan terhadap
serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang
menderita luka
bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan
penyakit/pembusukan. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan tegakan
dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa
liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya
pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan
tersebut. Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat
hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah
menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan.
Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi dan tingkat air tanah menurun.
Kebakaran yang berulang-ulang dikawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan
serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang sangat berguna bagi
kesuburan tanah. Dampak lainnya dari kebakaran hutan adalah rusaknya permukaan
tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang terbakar di lereng-lereng di daerah
hulu DAS cenderung menurukan kapasitas penyimpanan air di daerah-daerah
dibawahnya. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan mutu kawasan karena
kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan erosi tanah dan banjir, yang
menimbulkan dampak lanjutan berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai,
danau dan bendungan.
b. Dampak
Terhadap Sosial Ekonomi
Perubahan
bio-fisik terhadap sumber daya dan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan,
mengakibatkan penurunan daya dukung dan produktivitas hutan dan lahan. Pada
keadaan serupa ini akan menurunkan pendapatan masyarakat dan negara dari sektor
kehutanan, pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa wisata dan lainnya yang
terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.
c. Dampak
Terhadap Lingkungan
Selain
dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan
akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1994 dan tahun
1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi cuaca tertentu
yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangkap di bawah suatu
lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga,
menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus pandang) sehingga mengganggu
kelancaran transportasi darat, laut dan udara.
Peran penyuluh:
Masyarakat Peduli Api
Penyuluhan
kehutanan sebagai bagian integral dari pembangunan kehutanan yang intinya adalah
upaya pemberdayaan masyarakat, dunia usaha dan para pihak lainnya, merupakan
investasi dalam mengamankan asset negara terutama sumber daya hutan.
Tujuan
penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap
dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan
sehingga terwujud masyarakat yang mandiri yang berbasis kehutanan. Adapun
sasarannya adalah masyarakat di dalam maupun diluar kawasan hutan yang
berkaitan dengan pembangunan kehutanan.
Masyarakat Peduli
Api (MPA) adalah kumpulan masyarakat yang secara sukarela bersedia membantu
upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan mulai dari pencegahan, pemadaman,
penanggulangan dampak. Sebelum terjun langsung memadamkan api para anggota MPA
sudah melewati beberapa latihan-latihan dan didasari pengetahuan tentang
penggunaan alat pemedam kebakaran sehingga mereka sudah terlatih terlebih
dahulu.
Dasar
pembentukan Masyarakat Peduli Api adalah UUD Pasal 47 tahun 1999 tentang
perlindungan hutan serta kawasan. Adapun misi-misi dari kelompok Masyarakat
Peduli Api ini adalah :
1. Melakukan pencegahan kebakaran hutan secara
optimal dengan menitik beratkan pada peningkatan kesadaran terhadap semua pihak
akan bahaya kebakaranbaik terhadap sumber daya hutan maupun kehidupan
masyarakat, bangsadan Negara serta pengelolaan hutan yang dapat menekan resiko
kebakaran.
2. Memadamkan kebakaran hutan sedini mungkin dan
progresif dalam pendayagunaan sumber daya manusia yang professional dan
peralatan yang tepat guna dan berhasil guna.
3. Menangani pasca-kebakaran hutan dengan titik
berat rehabilitasi kawasan bekas kebakaran dan penegakan hukum dengan dukungan
sumber daya manusia yang pofesional, perangkat peraturan perundang-undangandan
pedoman-pedoman teknis
Kelompok
yang juga melibatkan masyarakat ini juga bertujuan untuk menanamkan kepedulian
masyarakat dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Pemerintah tidak akan
dapat melaksanakan penyuluhan kebakaran dengan hanya mengandalkan sumber daya
manusianya , dengan adanya teknologi GIS tidak menjadi kendala dalam kinerja
dan diharapan kedepan adalah tidak ada lagi kebakaran, tidak ada asap yang
menyesakkan, dan memedihkan mata.
GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS (GIS)
Kegiatan deteksi
dini dalam menanggulani kebakaran hutan memegang peran sangat penting. Deteksi
dini adalah upaya untuk mendapatkanketerangan secara dini adanya kebakaran
hutan melalui penerapan teknologi sederhana hingga teknologi canggih
(Direktorat Penanggulangan Kebakaran hutan, 2001)
Seiring dengan
perkembangan teknologi, kegiatan pemantauan hutan untuk mencegah kebakaran
sudah dapat dilakukan dengan sistem komputerisasi, bukan sistem konvensional
lagi. Dengan sistem komputerisasi, maka pemantauan hutan dapat dilakukan dengan
cepat dan mudah, sekaligus dapat menentukan/memperkirakan lokasi-lokasi yang
rawan kebakaran. Untuk pemantauan kebakaran yang terkomputerisasi, diperlukan
suatu sistem, yaitu apa yang disebut Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode GIS (Geographic
Information System) yang dapat melakukan visualisasi secara efektif
mengenai kondisi geografis yang akurat, kejadian bencana kebakaran, ataupun
perkiraan ancaman kebakaran yang akan terjadi.
Ceecati
et al (1999) dalam Sunupprapto (2000) dalam Achmad Siddik Thoha (2008) menyatakan,
mendokumentasikan penggunaan metodologi dan teknik-teknik, dimana memadukan
NOAA-AVHRR data satelit dengan songkongan Sistem Informasi Geografis (SIG)
menyediakan deteksi dan monitoring kebakaran yang berhubungan dengan factor
linkungan. Jadi dalam penggunaan SIG diperlukan data Pengindraan Jarak Jauh
yang memantau titik-titik api yang berpotensi kebakaran, sehingga data hotspot
di gabung dengan data peta yang lain seperti Peta Penutupan Lahan.
Gambar 2. SIG
untuk Kehutanan
Kolden
dan Weisberg (2007) dalam penelitian mengenai perbandingan akurasi
pemetaan kebakaran secara manual dengan pemetaan menggunakan SIG dan Remote
Sensing terhadap 53 kejadian kebakaran menunjukkan bahwa terdapat kesalahan
(error) secara signifikan terhadap pemetaan garis batas kebakaran dengan
pengukuran lapangan dan metoda dengan helikopter. Penggunaan teknologi SIG
mempermudah deliniasi dan pemetaan daerah kebakaran secara lebih tepat.
Penggunaan
GIS dalam model kerawanan hutan telah mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab
kebakaran, tergantung pada karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat
yang berbeda. Variabel spasial yang digunakan untuk membangun kerawanan
kebakaran hutan, yaitu topografi (elevasi, slope, dan aspek), vegetasi (tipe
bahan bakar, kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan
presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari
kota, tanah dan bahan bawah tanah, sejarah kebakaran dan ketersediaan air
(Chuvieco dan Salas, 1996).
Aplikasi GIS dalam pembuatan Peta Rawan kebakaran
Peta
daerah rawan kebakaran, sangat berperan penting dalam mendukung kinerja penyuluh kebakaran pada
pengambilan keputusan tersebut. Penyajian informasi secara spasial akan lebih
membantu memberikan gambaran yang jelas dan akurat mengenai lokasi, jarak,
serta aksesibilitas antara lokasi rawan kebakaran dengan sumber daya pemadaman
yang ada di lapangan. Permasalahan selanjutnya akan muncul saat peta tersebut
tidak akurat lagi, akibat adanya perubahan dari faktor-faktor yang digunakan
dalam peta rawan kebakaran tersebut. Sebagai contoh, penutupan vegetasi akan
cenderung cepat berubah sehingga akan memiliki karakteristik yang berbeda
terhadap prilaku kebakaran hutan. Untuk itu juga diperlukan upaya pemutakhiran
(updating) peta sesuai dengan perubahan yang terjadi, sehingga
keakuratannya terjaga dalam strategi penanggulangan kebakaran hutan yang
berkelanjutan.
Peta
Rawan Kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk mempresentasikan
kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk memudahkan proses
overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu, memahami
faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama
di dalam melakukan permodelan ini (Solichin, dkk, 2007).
Menurut Zaidil Firza (2011), Peta Rawan
Kebakaran Hutan dapat diperoleh menggunakan metode overlay peta-peta tematik.
Peta-peta yang digunakan antara lain:
1.
Peta Penutupan Lahan yang
diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit yang dilakukan oleh BPKH II,
digunakan sebagai salah satu faktor yang terkait dengan penggunaan lahan
aktual. Wilayah yang terdegradasi dan tidak memiliki pola pemanfaatan intensif
cenderung rawan terhadap kebakaran.
2.
Penyebaran Lahan Gambut merupakan faktor penting yang berpengaruh
terhadap intensitas dan dampak kebakaran yang terjadi, serta merupakan bahan
bakar paling efektif dalam kebakaran hutan. Informasi penyebaran jenis lahan
diperoleh dari peta unit lahan yang dikeluarkan oleh Puslitanak.
3.
Peta Elevasi atau Peta Ketinggian diperoleh dari data Digital
Elevation Model (DEM) SRTM. Informasi ketinggian digunakan untuk membedakan
dataran rendah (0-25) daerah lahan kering (25 -1000 m) dan dataran tinggi atau
pegunungan (1000 – 3000 m). Pembagian tiga zona ketinggian ini terkait dengan
pembagian zona iklim, mengingat curah hujan di Indonesia, seperti contoh di
Sumatera dipengaruhi oleh topografi yang berkisar antara 6000 mm per tahun di
wilayah barat atau sekitar bukit Barisan hingga 1500 mm di bagian timur
(Whitten et al, 2000). Ketinggian juga mempengaruhi daerah persebaran kebakaran
hutan, karena pada teorinya kebakaran merambat dari daerah bertekanan udara
rendah ke tinggi, dimana semakin tinggi elevasi, semakin tinggi tekanan
udaranya.
4. Batas Administrasi digunakan
hanya sebagai batas areal yang akan dianalisa, sehingga peta yang dihasilkan
memiliki areal sesuai dengan yang kita inginkan. (peta tambahan)
Dari
keempat peta ini, lalu dilakukan overlay, menggunakan metode scoring dengan
pembobotan masing-masing elemen. Kriteria pembobotannya antara lain : 1. Peta
Penutupan Lahan (40%) 2. Peta Ketinggian (30%) 3. Peta Tanah - Persebaran
Gambut (30%)
Dari
scoring ini kita akan mendapatkan poligon-poligon yang mempunyai skor
rawan kebakaran, sehingga kita mampu mengklasifikasikan wilayah berdasarkan
kerawanan kebakaran. Dari peta rawan kebakaran ini, kita mampu merekomendasikan
wilayah-wilayah berdasarkan prioritas penanggulangan kebakarannya, baik
ditinjau dari fasilitas yang kurang memadai, jarak dari sumber air terdekat,
jumlah personil, maupun beratnya kondisi fisik lapangan. Untuk strategi
penanggulangan kebakaran hutan yang bersifat berkelanjutan, harus diadakan pemutakhiran
data teraktual tiap tahunnya. Dengan prioritas kebakaran yang tepat maka
wilayah prioritas tersebut menjadi prioritas dalam penyuluhan kebakaran.
Gambar 3. Peta Rawan Kebakaran di Sumatera Selatan
dengan aplikasi GIS
Label
|
Warna
|
Tidak Rawan
|
|
Rendah
|
|
Sedang
|
|
Tinggi/Sangat Rawan
|
|
Dari peta
diperoleh, diketahui daerah-daerah dengan tingkat-tingkat kerawanan yang
berbeda-beda. Karena keterbatasan sumberdaya pemadaman yang ada di sekitar
hutan, maka diperlukan pengkonsentrasian kegiatan pencegahan dan pemadaman di
wilayah-wilayah tersebut seperti penyuluhan kebakaran. Upaya pencegahan yang
dapat dilakukan melalui pengembangan masyarakat adalah melalui upaya pemberian
altenatif matapencaharian sekitar lahan gambut, untuk menghindari terpicunya
kebakaran gambut oleh masyarakat saat musim kemarau. Peningkatan kesadaran
masyarakat sekitar akan bahaya kebakaran gambut serta pentingnya ekosistem bagi
lingkungan global juga harus diterapkan dengan cara pemberian penyuluhan
kebakaran terutama oleh anggota MPA. Masalah lain yang kerap muncul adalah
rendahnya aksesibilitas yang dapat dilalui oleh regu-regu pemadam kebakaran,
ditambah lagi dengan terbatasnya sumber air di lahan gambut saat kemarau,
mengakibatkan regu pemadam hanya mampu menjangkau areal lahan gambut tidak
lebih dari 500 meter dari pinggir jalan dan kanal. Butuh upaya alternatif
transportasi bagi regu pemadam, selain akses jalan, karenanya sangat perlu
diperhatikan, mengingat sulitnya aksesibilitas menuju areal lahan gambut yang
terdegradasi. Namun, upaya pencegahan perlu diprioritaskan di wilayah-wilayah
rawan berdasarkan peta daerah rawan kebakaran hutan.
Dari
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa SIG bisa membantu penyuluh dalam
penyuluhan kebakaran hutan yang mana lokasi penyuluhan tersebut disesuaikan atau
dikonsentrasikan dengan daerah rawan kebakaran, sehingga tujuan penyuluhan
tersebut tepat lokasi sasaran.
Referensi
|
Abidin
Hasanuddin. 2007. Integrasi GPS
dan SIG
Anonim.
2012. Masyarakat Peduli Api
Anonim. 2012. Penyuluhan Kehutanan.
Achmad siddik Thoha, 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan. USU Repository.
Direktorat Jendral planologi Kehutanan
kementrian Kehutanan. 2010. WebGis Kementrian Kehutanan, Situs Informasi
Geografis/Data Spasial Kehutanan. hppt://webgis. Dephut.do.id/
|
Firza
, Zaidil. 2011. Aplikasi Sistem
Informasi Geografis (Sig) Dalam Prediksi Spasial Wilayah Rawan Kebakaran
Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
FFPCP.
2001. Proceedings, Land and Forest Fire Workshop South
Sumatra
|
|
Terimakasih bang danil aas pengetahuan yang abang kasih tentang PERAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS (GIS) SEBAGAI TEKNOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN PADA PENYULUHAN KEBAKARAN HUTAN, ternyata GIS banyak juga kegunaan dan manfaat nya.
ReplyDeleteKunjungi website saya ya : https://diansah.mahasiswa.atmaluhur.ac.id
dan website kampus saya : http://www.atmaluhur.ac.id
Wah Infonya sangat bermanfaat, jadi bisa tau tentang peta yang diperoleh, terlebih lagi daerah-daerah tersebut diketahui dengan tingkat-tingkat kerawanan yang berbeda-beda. Karena keterbatasan sumberdayanya. ternyata SIG banyak kegunaannya juga untuk daerah rawan. thanks ya gan atas infonya.
ReplyDeleteoh ya kunjungi website saya https://ridhohabibi.mahasiswa.atmaluhur.ac.id/ dan website kampus saya http://www.atmaluhur.ac.id/
oh...,jadi ini merupakan PERAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS (GIS)
ReplyDeleteSEBAGAI TEKNOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN PADA PENYULUHAN KEBAKARAN HUTAN,terima kasih ya
gan atas infonya.jadi ini bermanfaat buat saya,
oh ya jangan lupakunjungin website saya
https://ahmadrizalfahlepii.mahasiswa.atmaluhur.ac.id/ dan website Kampus saya
http://www.atmaluhur.ac.id